Madina – Manyota.id | Boleh jadi hari ini adalah hari Kamis biasa bagi semua orang, tapi tidak untuk H. Ishak, S.Pd dan Hj. Elida Hanim Lubis. Keduanya guru di SDN 165 Siantona, Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumut. Pengabdian dua guru senior ini memasuki masa purna bakti setelah berjuang mencerdaskan masyarakat di sana dalam kurun waktu 40 tahun ke belakang.
Saat Ishak bersama istri dan dua anak gadisnya serta Elida yang juga membawa serta satu anak perempuannya memasuki gerbang sekolah, para pria dewasa yang belasan dan puluhan tahun lalu pernah mereka didik berbaris menabuh Gordang Sambilan. Alat musik tradisional Mandailing yang dimainkan hanya pada momen spesial raja-raja di masa lalu. Ishak dan Elida bukan raja maupun ratu, tapi pengabdian dan ketulusan keduanya mencerdaskan anak-anak desa ini telah mengantarkan mereka pada titik yang terhormat. Mereka adalah panutan. Digugu.
Hari ini, gerbang yang mereka lalui ribuan kali terlihat berbeda. Seluruh siswanya berbaris menyambut. Sementara ratusan warga berdiri memberikan penghormatan kepada dua insan yang tak lelah mengajari generasi desa ini. Bahkan, sebagian besar dari warga yang berkumpul pernah jua merasakan didikan keduanya.
Ishak berusaha tersenyum semringah, tapi sekuat apa pun dia mencoba, genangan air mata yang sejak melangkah memasuki gerbang sekolah dia tahan akhirnya tumpah jua. Elida pun demikian. Sesekali dia terlihat membetulkan kaca mata yang sebenarnya berada pada posisi sempurna. Pelukan teman sejawat, tokoh masyarakat, dan warga seolah memberi restu untuk menangis haru. Onma masona hita marpisah melantun dari mulut penyanyi gordang.
Entah apa yang telah dilakukan keduanya sehingga ibu-ibu dan bapak-bapak, termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama, tak kuasa menahan tangis. Banyak warga yang sesenggukan. Kaum ibu sesekali menarik ujung jilbab untuk menghapus air mata, sementara kaum bapak menggunakan punggung tangan untuk tujuan serupa. Kali ini para lelaki yang selama ini merasa gagah tidak malu menumpahkan air matanya.
Di masa kini, penghormatan terhadap guru seperti yang diterima keduanya adalah hal langka. Murid-murid mereka yang kini telah menjadi orang tua satu per satu menyalami sembari menyerahkan kado perpisahan. Kado ini pemberian dari masyarakat, bukan dari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di sekolah itu. Penghormatan masyarakat kepada keduanya sepadan dengan pengabdian, pengorbanan, dan keihklasan mereka selama 40 tahun ini.
Sebagaimana acara umumnya, beberapa orang yang ditunjuk untuk menyampaikan kata sambutan dipanggil satu per satu. Penyampaian kata sambutan ini berjalan tak biasa. Kepala Desa Siantona Muhammad Syahrul berbicara dengan terbata-bata. Bagaimana tidak, orang yang mengajari dia membaca di masa lalu dan pula telah mengajari anak-anaknya, hendak meninggalkan sekolah ini. Jelas sang kepala desa menahan tangis sehingga sesekali suaranya terdengar bergetar.
Perwakilan komite bahkan memilih untuk tidak menyampaikan kata sambutan. Dia hanya maju ke depan dan berpesan kepada pembawa acara untuk mewakilkan menyampaikan rasa terima kasih dan permohonan maaf. Sementara perwakilan orang tua hanya sampai pada ucapan salam. Setiap dia mencoba memulai kata sambutan, air matanya tumpah. Dia bahkan dipapah dari panggung untuk kembali ke tempat duduknya. Tidak ada kata yang bisa mewakili rasa terima kasih masyarakat terhadap abdi keduanya, itu simpulan dari semua sambutan yang disampaikan.
Tak hanya murid, masyarakat pun benar-benar terlibat memberikan momen yang mungkin tidak pernah terpikirkan dan tidak ada dilupakan Ishak maupun Elida. Anggota nasyid Desa Siantona yang merupakan ibu-ibu unjuk kebolehan. Dari pilihan lagu yang ditampilkan, mereka seperti ingin menyampaikan rasa terima kasih dan beratnya berpisah dengan dua sosok yang puluhan tahun lalu mengajari mereka adab dan sopan santun.
Rekan-rekan sejawat pun tak ingin melewatkan momen ini. Mereka, dari berbagai sekolah di kecamatan ini, hadir secara suka rela. Salah satu guru dalam sambutannya menyampaikan bahwa Ishak dikenal sebagai sosok yang disiplin, rajin, dan bekerja keras untuk mencapai target. “Bapak ini akan mencurahkan segala tenaga untuk mencapai target yang telah dia tetapkan,” menegaskan sedikit gambaran karakter Ishak.
Tangisan kembali pecah saat guru-guru yang hadir dari berbagai sekolah menyanyikan lagu Mungkinkah milik band Stinky. Tidak ada yang mencoba menutupi perasaan sedih dan haru atas perpisahan dengan dua guru ini. Puncaknya, naposo nauli bulung menampilkan tor-tor mangido moof yang dilanjutkan dengan masyarakat secara bergiliran menyalami Ishak dan Elida.
Acara perpisahan penuh haru dan tetesan air mata ini merupakan hasil musyawarah masyarakat. Syahrul menceritakan, sebagai kepala desa dan pernah dididik Ishak maupun Elida berinisiatif memotong kambing sebagai bentuk terima kasih atas dedikasi keduanya, tapi masyarakat mengusulkan agar dibuat acara besar dengan memotong seekor lembu. Aspirasi itu pun disahuti kepala desa. Semua warga, termasuk yang diperantauan, memberikan sumbangsih sehingga terkumpul sekitar Rp22 juta.
Ishak dengan suara bergetar menceritakan, saat menerima SK penempatan di SDN Siantona tahun 1984 silam tak pernah berpikir akan seberat ini meninggalkan sekolah itu. “Padahal sejak menerima SK, saya sudah tahu bahwa karier ASN ini akan berujung pensiun,” katanya.
Lulusan SPG Negeri Padangsidimpuan ini mengaku sejak pertama menginjakkan kaki di sekolah ini sudah merasa nyaman. Penyambutan masyarakat yang hangat telah membuatnya jatuh cinta dan tak pernah berpikir untuk pindah, termasuk ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya di Desa Purba Baru. Padahal, sejak 1984 sampai tahun 2002 dia harus berjalan kaki dari Desa Purba Lamo ke Desa Siantona. Kiri dan kanan sepanjang jalan pada awal-awal dia ke sana merupakan hutan.
Bagianya, pindah ke sekolah manapun tetap akan mengajar. Jadi, tidak ada bedanya dengan yang dia kerjakan di Desa Siantona. Rasa nyaman, penghargaan masyarakat, dan tekad memberikan pendidikan yang baik telah mengikat suami dari Rodiah ini sehingga memilih menghabiskan pengabdian sebagai ASN di desa ini.
Selama bertugas di Desa Siantona, ayah dua putri ini, mengaku tidak pernah mendengar kata-kata kasar dari orang tua murid. Hal ini tentu berbeda dengan daerah lain yang pada masa lalu susah menerima orang luar dan belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Ishak mengungkapkan ada perasaan menolak untuk pindah meski ada kesempatan, tapi dia tak bisa mengungkapkan perasaan itu dalam bentuk kata-kata.
Pria yang melanjutkan pendidikan S-1 di Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan ini mengaku sampai hari ini masih syok menghadapi masa pensiun. Ada banyak pertanyaan memenuhi benaknya, terutama ketika mengingat wajah anak-anak didiknya.
“Sonjia me alai dung pensiun au, sonima ningroa niba. Padahal les angkon naboluson do pensiun on, dungi nangkan adong muse de ro manggontion iba. Sugari les nida do alai tamat sian sikola on,” tutur kepala sekolah ini.
Untuk rencana setelah pensiun, Ishak mengaku belum memikirkan apa pun. Baginya, menghadapi masa pensiun yang tinggal beberapa hari lagi masih menjadi pikiran. Kadang-kadang dia merasa iba terhadap diri sendiri ketika teringat masa pensiun telah tiba. “Saya hanya berharap diberikan Allah kesehatan setelah pensiun,” harapnya.
Melihat perlakuan masyarakat yang mengadakan acara sebesar ini, terlebih seluruh elemen turut berpartisipasi, ternyata mampu membuat haru pribadi yang dikenal sederhana ini. Tak pernah terpikirkan, apalagi bermimpi akan dilepas masyarakat dengan cara seperti ini. “Saya terharu,” tutupnya dengan suara bergetar sambil menahan tangis.
Senada dengan itu, Elida Hanim pun memilih menghabiskan masa abdi di SDN 165 Siantona karena kadung nyaman sejak hari pertama menginjakkan kaki di sekolah ini tahun 1984 silam. Penugasannya hanya berbeda dua bulan dengan Ishak. Lulusan SPG Negeri Padangsidimpuan ini akan pensiun pada 13 Agustus 2024.
Sebagai anak dari pasangan guru, Elida pun mengikuti abdi orang tua. Namun, saat ayah dan ibunya pindah ke Padangsidimpuan, perempuan kelahiran Desa Saba Dolok, Kecamatan Kotanopan ini memilih setia di Siantona. Baginya, lelah berjalan kaki menuju sekolah akan terobati ketika melihat senyum anak didiknya.
Beruntung, Elida menemukan tambatan hatinya yang kebetulan satu penempatan dengan dirinya. Pria yang meminangnya tinggal di Sibanggor. Praktis, jarak tempuhnya ke sekolah kian dekat. Selain itu ada suami yang menemani.
Menghadapi masa pensiun, Elida terlihat lebih siap dibandingkan Ishak. Di tengah-tengah masa pengabdian dia sempat membeli sawah di Desa Siantona. Selain itu, dia dan suami (sebelum meninggal) memutuskan membangun rumah tak jauh dari sekolah. Meski demikian, rasa haru dan sedih tetap menyelimuti Elida.
“Sedih. Meninggalkan kawan-kawan, anak-anak, dan sekolah yang telah menjadi bagian dari hidup saya selama 40 tahun,” katanya ketika ditanya mengenai perasaannya menghadapi masa pensiun.
Dia meyakini, rasa rindu akan datang. “Tapi, saya masih bisa berkunjung atau melihat sekilas karena di desa ini ada sawah milik saya,” tutupnya.
Ishak dan Elida adalah segelintir tenaga pendidik yang memilih mengabdikan dirinya di desa-desa terpencil tanpa berpikir untuk pindah. Sepanjang usia pengabdian dihabiskan di satu sekolah. Sejak puluhan tahun lalu, mereka meninggalkan kenangan dan ragam pendidikan seperti sopan santun, kejujuran, kesetiaan, dan keihklasan yang akan diwariskan kepada anak didik dan guru-guru yang lebih muda. (Red)