Manyota.id – Madina | Ketua DPRD Mandailing Natal (Madina) Erwin Efendi Lubis dan istri Fitrisna Borotan menjadi perhatian di tengah-tengah pementasan drama Sampuraga pada resepsi pernikahan Ketua Forum Wartawan Kota (Forwakot) Panyabungan Sahrul Ramadhan Harahap dengan Risky Maulida Lubis di Panyabungan, Madina, Sumut, Sabtu (12/8)
Pasalnya, pasangan suami istri yang baru saja menunaikan ibadah haji ini beberapa kali terlihat menyeka air mata. Seperti ada sesuatu yang mengetuk hati keduanya. Jika diperhatikan dengan seksma, Erwin menghapus matanya yang berkaca-kaca saat drama memasuki babak pengusiran ibu si Sampuraga Namaila Marinang (Malu ber Ibu ) dengan cara diseret dan dimaki.
Maklum saja, Erwin Efendi bisa berdiri seperti saat ini berkat doa dan dukungan orang tua. Dia paham betul bagaimana memperlakukan seorang ibu,apalagi saat ini,dimana ibunda tercinta ketua DPRD Madina itu sudah lama tiada.
Selain itu Ketua Partai Gerindra kabupaten Madina itu juga tak pernah malu menceritakan asal-usulnya. Justru yang terlihat adalah rasa bangga.
Erwin, seperti diketahui dan beberapa kali dia ceritakan, datang dari keluarga biasa-biasa saja. Bukan orang kaya dan berpengaruh. Ibunya bekerja sebagai penjual Toge Panyabungan, makanan khas Panyabungan terbuat dari ketan dengan kuah santan dicampur gula aren.
Tumbuh dalam keluarga besar, Erwin melihat dengan jelas bagaimana orang tuanya membesarkan dia dan adik-adiknya. Kegigihan orang tua itu pula yang beberapa kali menjadi cerita kebanggaan ketua DPRD Madina ini. Baginya, tak kuasa melihat orang tua, utamanya ibu, diperlukukan seperti dalam drama itu.
“Saya tak bisa menahan air mata, betul-betul menangis melihat orang tua diperlakukan seperti itu,” katanya di sela-sela acara itu.
Sampuraga adalah cerita legenda yang telah hidup di tengah-tengah masyarakat Mandailing dari ratusan tahun lalu. Dalam cerita itu dikisahkan seorang pemuda hidup dengan ibunya di sebuah gubuk. Sehari-hari keduanya mencari kayu bakar untuk dijual sebagai penyambung hidup.
Suatu waktu, Sampuraga pamit kepada ibunya untuk merantau dengan cita-cita mencari kehidupan yang lebih baik. Meski berat dan harus hidup sebatang kara, sang ibu merelakan kepergian anak satu-satunya itu. Singkat cerita, sang anak berhasil di perantauan dan menikah dengan putri seorang raja.
Pada saat bersamaan, ibu Sampuraga keluar dari gubuknya dan mencari sang anak dari satu desa ke desa lain. Sampailah perempuan yang digambarkan sebagai sosok tua renta dan sakit-sakitan itu di sebuah pesta. Setelah berbincang dengan pengawal, dia mengetahui pesta yang meriah itu untuk merayakan pernikahan Sampuraga dan putri raja.
Dia pun masuk ke tengah-tengah pesta hendak melihat dengan dekat apakah Sampuraga yang dimaksud pengawal adalah anaknya. Dari bawah dia melihat anaknya duduk di pelaminan dengan perempuan cantik. Dia pun memanggil nama anaknya, tapi Sampuraga bertindak seakan-akan tak mengenal ibunya sendiri. Bahkan dia menyuruh pengawal untuk mengusir dan menyeret perempuan tua itu.
Di akhir cerita, akibat kedurhakaannya, Sampuraga ditimpa malapetaka dan dikutuk menjadi air yang mendidih berikut dengan semua yang hadir di pesta itu. Cerita tersebut mengajarkan banyak hal, salah satunya kewajiban berbakti kepada orang tua. (Red/Team)