Madina – Manyota.id | Sebuah Perusahaan raksasa jenis plat merah diduga sedafng melakukan proses pengurusan izin hak guna usaha (HGU) di kawasan hutan lindung.
Masyarakat dan Kepala Desa (Kades) Batusondat, Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) bereaksi dan melawan.
Dihubungi Awak media melalui saluran telepon seluler, Senin (11/9), Kades Batusondat Zulfikar Nasution mengungkapkan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan berbagai pihak setelah diketahui bahwa ada permohonan usulan HGU perusahaan Plat merah berlokasi di Desa Batusondat.
“Saya sudah hubungi Kadis LH dan Kehutanan Sumut minta bantuan penentuan batas hutan lindung,” ujar Kades Batusondat Zulfikar Nasution.
Dia juga menjelaskan kepada Kadis LH dan Kehutanan Sumut untuk meminta bantuan penentuan batas hutan lindung yang berbatas dengan usulan perusahaan perkebunan sawit. Kenapa?
“Karena, sebelumnya, perusahaan itu (sambil menyebut nama “perusahaan raksasa berplat merah”, red) bermasalah dengan hukum tentang perambahan kawasan hutan lindung dan sampai saat ini tanaman sawit perusahaan dipelihara dan dipanen,” ujarnya.
Kades Batu Sondat Zulfikar Nasution menjelasjan, selain berupaya berkordinasi dengan Kadis LH dan Kehutanan Sumut soal penentuan batas hutan lindung, juga menghubungi Ketua Tim HGU RI di Jakarta dan Ketua DPRD Sumut di Medan.
Dalam perjalanan jurnalistik di Batahan beberapa hari lalu, terdengar dugaan perambahan hutan disampaikan warga di Pasar Batahan, menceritakan sekelompok orang merambah hutan di areal Bukitrendang diduga kawasan hutan lindung.
Masyarakat menduga, perambahan hutan yang sedang terjadi itu dibekingi pengusaha sawit dengan tujuan perluasan lahan. “Mungkin masyarakat yang membuka, tapi nanti setelah dibuka dijual kepada perusahaan,” ujar salah seorang warga.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) IX Panyabungan Abdul Rahman Saleh didampingi Kepala Tata Usaha PH IX Panyabungan Solihin mengakui 700 hektare di Kec. Batahan, Kab. Madina, Sumut hutan lindung, berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
Namun, mereka tak tak bisa memastikan lokasi yang dimaksud masyarakat adalah areal hutan lindung. “Harus ada titik koordinat pasti,” katanya di ruang kerjanya, Senin (11/9).
Kepala Tata Usaha PH IX Panyabungan Solihin menambahkan, beberapa tahun lalu PTPN IV pernah merambah hutan lindung dan menjadikannya kebun sawit, tapi setelah diproses lahan tersebut dibiarkan begitu saja.
“Itu sekitar 2000 berapa, saya lupa. Tapi, lahan itu sudah dibiarkan oleh PTPN. Tidak dijamah,” katanya.
Solihin tidak bisa merinci luas lahan yang pernah dirambah oleh perusahaan milik negara itu. Dia menerangkan, secara geografis selain PTPN IV, kawasan hutan lindung di Kec. Batahan berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat dan beberapa kebun masyarakat setempat.
Sebelumnya, tercium beberapa persoalan sengketa lahan di wilayah pantai barat Madina. Misalnya, di Batahan ada lahan 168,5 ha yang statusnya sedang stanvas. Sampai hari ini belum ada keputusan lanjut terkait lahan tersebut.
Tak hanya itu, banyak perusahaan di wilayah pantai barat belum merealisasikan kewajiban plasma 20% dari luas lahan perkebunan. Hak masyarakat tersebut telah beberapa kali disampaikan kepada pemerintah.
Sementara di Kec. Natal, setidaknya ada 2.410 kepala keluarga (KK) belum menerima manfaat dan tersebar di sembilan kelurahan/desa, yakni Pasar I Natal, Pasar II Natal, Pasar III Natal, Setia Karya, Pasar V Natal, Pasar VI Natal, Panggautan, dan Taluk.
Dua perusahaan yang telah menyelesaikan kewajiban kepada masyarakat adalah PT Dinamika Inti Sentosa (DIS) berlokasi di Sundutan Tigo dan PT Rimba Mujur Mahkota (RMM) berlokasi di Sikara-kara.
Sedangkan informasi diperoleh, proses pengurusan HGU “perusahaan raksasa berplat merah”, dikabarkan sumber, masih dirapatkan di Pemkab.
“Coba komunikasi aja langsung dengan PTPN, ya,” ujar Camat Batahan Irsal Pariadi menjawab pertanyaan sejauh mana proses pengurusan HGU “perusahaan raksasa berplat merah”. (Red)