Jakarta – Manyota.id | Pengurus Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PP PERTI) menyatakan kekecewaan mendalam terhadap keputusan Kementerian Agama Republik Indonesia yang melarang siaran adzan Maghrib di televisi nasional selama pelaksanaan Misa Bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno (GBK) pada Jumat, 5 September 2024. Kebijakan ini, yang tertuang dalam Surat Kemenag Nomor B-86/DJ.V/BA.03/09/2024, dinilai bertentangan dengan prinsip toleransi dan merusak harmoni antarumat beragama di Indonesia.
Ketua Umum PP PERTI, Buya H.M. Syarfi Hutauruk, dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 4 September 2024, menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak hanya tidak bijaksana tetapi juga berpotensi mencederai perasaan umat Islam. “Kami sangat prihatin dengan kebijakan ini. Larangan adzan Maghrib di televisi nasional selama Misa Paus Fransiskus adalah langkah yang keliru dan bertentangan dengan semangat kerukunan yang kita junjung bersama,” ujar Buya Syarfi.
Didampingi oleh Wakil Ketua Pasni Rusli dan Sekretaris Jenderal Julhendri Chaniago, Buya Syarfi menyatakan bahwa adzan Maghrib yang hanya berlangsung beberapa menit seharusnya tidak dianggap sebagai gangguan terhadap pelaksanaan Misa. Menurutnya, televisi nasional bisa menyiarkan kedua acara tersebut secara bersamaan dengan cara membagi layar, sehingga kedua peristiwa religius ini dapat berjalan berdampingan tanpa menimbulkan konflik.
“Kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat toleransi yang selama ini kita banggakan. Adzan dan Misa bisa berlangsung bersamaan tanpa saling mengganggu, justru ini akan menjadi contoh nyata dari penghormatan terhadap keyakinan masing-masing,” jelasnya.
Lebih lanjut, Buya Syarfi menegaskan bahwa penayangan adzan di televisi telah menjadi bagian penting dari kehidupan umat Islam, terutama bagi mereka yang berada di perkotaan besar. Dengan adanya larangan ini, ia khawatir akan muncul kesalahpahaman dan ketegangan yang tidak perlu di kalangan masyarakat.
“Kami mendesak Kementerian Agama untuk segera mencabut surat ini dan mencari solusi yang lebih inklusif dan damai. Sebagai negara yang menjunjung tinggi keberagaman, kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan yang menyangkut isu-isu agama,” imbuhnya.
PP PERTI juga menyerukan agar pemerintah lebih banyak melibatkan tokoh agama dan organisasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan yang berpotensi sensitif, untuk menghindari kontroversi dan menjaga persatuan bangsa.
“Kami berharap pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan ini dan mengambil langkah yang lebih arif demi menjaga kerukunan dan kedamaian di tengah keberagaman yang ada,” tutup Buya Syarfi. (RED)