Madina – Manyota.id | Di tengah sunyinya Desa Laru Dolok, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, suara tangisan tanpa air mata terdengar dari perjuangan sekelompok ibu-ibu. Rabu (21/8), mereka terpaksa turun dari mobil angkutan dan bergulat dengan kerasnya jalan berbatu dan licin. Bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk memastikan mobil yang mereka tumpangi bisa melanjutkan perjalanan menuju desa mereka yang terisolasi.
Mobil angkutan yang mereka naiki terhenti di sebuah tanjakan curam, ban mobil hanya berputar di tempat, tak mampu menembus kerasnya tanah yang bercampur batu. Dengan sisa tenaga yang ada, ibu-ibu ini bahu-membahu mendorong mobil tersebut, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berhasil melaju perlahan.
Pemandangan seperti ini bukan lagi hal yang aneh di Desa Laru Dolok ini adalah kenyataan pahit yang harus mereka hadapi setiap hari, terutama saat musim hujan tiba.
Bukan hanya para ibu-ibu yang harus berjuang. Anak-anak sekolah sering kali terpaksa melepas sepatu mereka agar tidak tergelincir di jalan yang becek dan berlumpur.
Para pengendara sepeda motor juga tidak luput dari ancaman, sering kali terjatuh karena kondisi jalan yang sangat berbahaya.
Jalan sepanjang 1 kilometer ini, yang menghubungkan tiga desa—Laru Dolok, Laru Lombang, dan Laru Pasar—telah lama menjadi simbol kesengsaraan bagi warga. Meskipun jaraknya dekat dengan pusat Pasar Laru, namun sejak berdirinya Kabupaten Mandailing Natal, jalan ini tak pernah merasakan aspal.
Baca juga :
Batu-batu besar berserakan di sepanjang jalan, menjadikannya lebih mirip jalur rintangan daripada akses vital yang menghubungkan masyarakat dengan dunia luar.
Hamdan Rangkuti, seorang tokoh masyarakat Desa Laru Dolok, mengungkapkan rasa frustrasinya. “Sejak berdirinya Kabupaten Mandailing Natal, jalan ini tidak pernah diperbaiki. Kami sudah berkali-kali memohon kepada pemerintah, baik melalui Musrenbang maupun secara langsung, tapi hasilnya nihil. Setiap hujan turun, jalan ini berubah menjadi kubangan lumpur yang membuat hidup kami semakin sulit,” katanya dengan nada yang mencerminkan keputusasaan yang mendalam.
Jalan yang rusak ini tidak hanya menyulitkan mobilitas warga, tetapi juga mengancam mata pencaharian mereka. Bagi para petani yang harus mengangkut hasil panen ke Pasar Laru, kondisi jalan ini menambah beban yang sudah berat. Mereka berharap, suara jeritan mereka akhirnya akan sampai ke telinga pemerintah.
“Kami tidak meminta banyak, hanya sebuah jalan yang layak untuk dilewati. Setiap hari, kami berjuang bukan hanya untuk diri kami sendiri, tapi juga untuk masa depan anak-anak kami. Kami berharap pemerintah pusat, daerah, dan bahkan presiden dapat mendengar jeritan hati kami ini dan segera memperbaiki jalan ini,” tambah Hamdan, penuh harap.
Di balik setiap dorongan, di setiap langkah yang terperosok di lumpur, ada harapan yang terus menyala,harapan akan sebuah perubahan yang akan menghentikan tangisan tanpa suara ini, harapan untuk jalan yang akan membuka kembali pintu menuju kehidupan yang lebih baik bagi Desa Laru Dolok.(Red)